Catatan akhir tahun, jalan ibukota yang semakin kejam

Jalanan Jakarta

Halo Biker, sobat sekalian kembali sharing pengalaman perihal kondisi jalan raya di Ibukota yang kali ini diceritakan oleh guest blog warung ini bro Saranto.

Pada bulan-bulan akhir menjelang penutupan tahun 2015, saya melihat dan mengalami sendiri beberapa kecelakaan yang membuat saya harus berfikir ulang, mengatur strategi berkendara mengendarai motor atau mungkin mengganti mode transportasi.
Kejadian 1, di serempet mobil dari box sampai stang.
Kejadian pertama waktu di perempatan Srengseng, Meruya, di perjalanan pulang dari kantor sekitar jam 7 malam, saat itu lampu lalu lintas baru berganti menjadi hijau, posisi saya berada di jalur motor paling kiri. Waktu sedang berjalan antri perlahan, mendadak jalur motor paling kiri harus terhenti karena ada lubang, saya menurunkan kedua kaki. Tiba-tiba sisi kanan saya di serempet mobil Agya/Ayla mulai dari belakang kanan, mengenai box, lengan sikut sampai spion. Motor oleng, tapi untungnya saya tidak terjatuh.

Mobil saya pukul, WOOOI!!! Si mobil berhenti di depan dan buka kaca, ketika saya hampiri dari sisi kiri mobil, seorang Ibu yang sedang menyetir sendirian membuka kaca dan mau membetulkan spionnya yang terlipat. “Maaf pak”.

Riding Jakarta

Kejadian 2, motor terbang

Jakarta saat ini sedang mengalami pembenahan besar-besaran secara serentak di sektor transportasi. Ada MRT kolong, jalan layang, pembenahan aspal, jadi memang macet dimana-mana demi masa depan yang lebih baik.

Kejadiannya juga sewaktu perjalanan pulang kantor, sehabis hujan gerimis jam 19:00, di flyover Permata Hijau. Mendadak, motor yang posisinya berada di 2 motor di depan saya oleng dan terbang! Jalanan waktu itu memang aspalnya sedang dikupas untuk dilapis aspal baru , kondisi  jalanan jadi seperti berurat, ada texture memanjang dalam yang membuat motor jadi godek-godek kalau lewat, gerimis pula. Kemungkinan si pemotor yang terbang itu tergelincir. Motor yang tepat di depan saya cepat membuang dan menghindar, sayapun demikian. Saya membuang ambil kanan hanya berdasarkan ingatan, bahwa masih ada space dengan mobil di belakang saya, tidak sempat melihat ke belakang lagi, karena kejadiannya benar-benar seketika.

Hanya based on pure luck, kalau di kanan belakang ada mobil apalagi truk, I’m gone… Untung selamat, haduhhhh.

Kejadian 3, menabrak atau ditabrak

Kalau yang ini ada faktor kesalahan di saya. Kali ini di Kebayoran, pertigaan sebelum rumah sakit Pertamina. Posisi motor saya ada di tengah, saya mau jalan lurus. Sementara motor di sebelah kiri saya mau belok ke kanan.

Waktu itu saya mendahului motor di kiri, motor di sebelah kiri perlahan mendekat-mendekat, kemudian menyangkut di motor saya sampai jatuh, stang dia nyangkut, waktu itu saya masih jalan terus, motor cuman oleng sedikit, kaki saya pun tidak turun. Dari spion saya lihat lhooo… kok bisa jatuh senggolan sedikit? Kejadiannya mirip seperti Rossi vs Marquez, lhaaaa? Dari spion saya lihat lho kok jatuh? Aneh bener.

Saya memberhentikan motor, kemudian dihampiri Bapak-Bapak yang protes bersama seorang polisi. Dia ngomong duluan “Pak! Bapak nggak nyalain sein!” Lha, gw kan jalan lurus kelesssss! Motor saya juga sudah masuk ¾ body, dia nyangkut ke box saya kok! Dianya aja kurang sigap ngerem sihhhh! Saya lihat motornya sebuah bebek warna abu tergores di bagian spatboard, footstep bengkok, kasihan juga. Berapa duit tuh..

Hasil dari pembicaraan lanjutan dia tidak minta ganti rugi, dia berkeras bahwa saya berkendara terlalu cepat tidak hati-hati, dia berkeyakinan jalannya terpotong karena dia sudah menyalakan sein. Si Bapak tidak minta ganti rugi, tapi minta pengakuan bahwa dia benar dan mengharuskan saya minta maaf ke dia.

Tentunya perhitungan ekonomi saya berjalan, ya cuman minta maaf doang apa susahnya, tidak rugi duit, juga membuat proses berjalan cepat. Ya sudah lah.

Polisi yang berjalan ke saya hanya menyarankan untuk menyelesaikan secara kekeluargaan, pakai jalan musyawarah katanya. Bapak Polisi menyatakan kalau sampai dia ikut campur, urusan akan jadi panjang, harus di bawa ke kantor, buat laporan, buat sketsa dan lain-lain, toh juga ini termasuk kecelakaan ringan, tidak ada korban.

Selain 3 di atas, masih ada beberapa kejadian lain yang konyol-konyol, seperti box makanan motor gojek depan saya yang tersenggol motor lain sampai terjatuh di jalan, mobil yang naik ke pembatas busway baru yang tinggi, tapi 3 di atas adalah sudah yang paling berkesan bagi saya.

Saya juga jadi ingat ungkapan seorang teman, “Mas, gue dulu Aikido, ambil karate bertahun-tahun, kalau sama orang, body contact gue berani, tapi kalau naik motor badan kita langsung contact dengan besi, ogah deh”.

Ya benar juga, runtutan kejadian di atas terjadi hanya dalam waktu 1-2 bulan, saya harus berpikir ulang dan mengatur strategi berkendara harian pulang pergi ke kantor. Kalau bicara resiko, “Prepare for the worst, hope for the best”, saya harus bersiap kalau besok-besok saya mengalami hal serupa, ya jatuh, terlindas… Sementara saya ada keluarga yang bergantung pada saya, saya masih perlu hidup.  Kalau mau dibilang harus lebih hati-hati, ya udah kelessss, saya tahu saya saat ini pun saya berkendara lebih perlahan dan lebih hati-hati dari pengendara motor lainnya. Saya/kita yang hati-hati tidak bisa menghilangkan resiko, karena lingkungan kita, pengendara lainnya tidak bisa kita prediksi dan diatur. Yang bisa dilakukan paling sebatas antisipasi, lebih sabar, atur jarak, dan lain-lain tapi kalau giliran ditabrak kemudian jatuh, ya lawan kita memang langsung, kalau nggak aspal, truk, besi body mobil. Mau ahli bela diri kek, mau sarjana, mau apapun kalau daging lawan besi ya mending jadi besi lah.

Rasanya tidak bertanggung jawab juga kalau saya memaksakan tetap beroda dua, demi menghemat, demi waktu, sambil resiko yang terus bertambah. Saya juga harus menghadapi kenyataan bahwa reflek saya akan menurun, reaksi saya akan melambat, fisik akan (sudah) menurun, umur nggak bisa bohong. Kondisi jalan? Apakah bisa semakin baik di kemudian hari? Jakarta suatu hari akan berkurang populasinya?

Jadi? Apakah bermobil, naik Trans Jakarta? Saya masih harus lihat kondisi keuangan, mempertimbangkan waktu, biaya, juga keamanan untuk berpindah, tapi memang rencana tahun ini sudah saya niatkan untuk pindah. Setelah 10 tahun lebih bermotor di ibukota, saya sudah melihat banyak hal, lolos dari berbagai macam bahaya, tapi kalau bicara resiko saya tidak bisa selalu lolos dari kecelakaan, semoga cukup. (Saranto)

7 Komentar

  1. Jakarta memang menyeramkan. Seugal-ugalan saya di pantura, masuk wilayah jakarta pasti langsung keok. Prinsip saya, ngebut ya kalo jalan kosong, tapi di jakarta, beuh, yang ada diklaksonin mulu ama motor belakang kalo gak ngebut.

    Over populated, mestinya banyak yang pindah. Alhamdulillah saya kalo ke Jakarta cuma main, ga sanggup dan gak ada rencana dah buat hidup di Jakarta, kecuali jadi orang super kaya dulu, biar disupirin di mobil alphard, 😀 aamiinin aja dah…

  2. Emang betul om.. Kita safety pun, yang lain belom tentu aware. Kondisi kendaraan orang lain pun kita ga paham, rem blong, ato lain sbg.. Serba salah, kenceng/pelan sama aja. Jalan kecil, berlubang, kendaraan jg makin banyak. Yang jadi dilema pajak di genjot, tapi kondisi jalan minim perbaikan. Mungkin itu salah satu hal yang bikin kita berkendara semaunya. Butuh kesabaran, gan hati2 ekstra

  3. Saya nyaranin pake matic mas yg cc kecil jadi bawanya lebih santai…
    Cari bagasi yg gede jadi gk pake box jadi lebih enak manuver di jkt.
    Maaf kata kalau tdk berkenan.

  4. Merunut yang saya baca di blog sampean dlu, kalo ga salah di laman “tentang saya” dan artikel sejutaumat lainnya. Jarak antara rumah dan kantor memang terlalu jauh mas, apalagi riding sore menjelang malam. Harus berhenti beberapa kali demi sholat berjamaah. Secara timing juga kurang tepat karena keseringan berhenti mas.

    Memang sudah sepatutnya cari rumah disekitaran kantor aja (walaupun dulu pernah bilang dapetin rumah itu perlu perjuangan). Ya njagani kalo ada apa2 mas soale tiap hari menempuh jarak yang jauh. Saran aja sih.

    Rumah saya di Gunungkidul, perjalanan ke sekolah tempat saya kerja 50an km dengan waktu tempuh 1,4jam. Dari awal sudah memilih untuk ngekost, jarak kos sama tempat kerja cuma 2km. Hehe. Meminimalisir hal2 yang tidak diinginkan. Alhamdulillah sampe sekarang masih sehat belum pernah kena musibah di jalan, naudzubillahmindzalik deh mas.

    • Alhamdulillah sekarang udh move on kang jadi karyawan, jadi rutinitas ngantor udah gak segila dulu dilakoni. Ternyata ngikuti artikel sejutaumat dari lama ya, fyi selanjutnya bisa ke blog elangjalanan.net ya kang, karena warung sejutaumat akan bertahap divakumin untuk tema blog yg berbeda kedepannya

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*